Anda pasti excited ketika membeli baju baru dengan model yang sudah lama Anda idam-idamkan. Sampai-sampai, Anda tak mau menunggu hingga baju baru itu dicuci lebih dulu sebelum dipakai.
Namun, ada sebuah laporan mengenai seseorang yang mengalami sakit kepala dan nyeri tenggorokan akibat tidak sabar untuk memakai pakaian baru. Padahal mencuci penting dilakukan untuk membuang bahan-bahan kimia yang biasa digunakan untuk membuat pakaian terlihat tetap baru.
Substansi seperti formaldehyde dan banyak senyawa penyebab alergi lain digunakan pada bahan pakaian untuk berbagai alasan. Di antaranya, untuk membantu mencegah pakaian jadi kusut, dan menyusut. Hanya sekali mencuci, sebenarnya sudah bisa menghilangkan atau mengurangi kadar substansi ini.
Di Amerika, penggunaan formaldehyde dalam pakaian tidak ada aturannya. Namun beberapa negara memberlakukan kadar maksimal yang boleh digunakan. Laporan terbaru dari U.S. Government Accountability Office (GAO) menyebutkan bahwa kadar dalam produk tekstil yang diuji di Amerika sudah memenuhi standar paling ketat daripada yang ditetapkan di tempat lain, sekitar 75 ppm (part per million, satuan kadar atau konsentrasi) untuk item yang mengalami kontak langsung dengan kulit.
Namun pernyataan tersebut rupanya tidak cukup bagi sebagian orang. Diperkirakan, sekitar 9 persen dari populasi Amerika sangat sensitif terhadap formaldehyde, sehingga paparan dari level yang rendah pun sudah cukup menyebabkan bintik-bintik merah pada kulit, atau beberapa reaksi alergi. Beberapa item yang diuji GAO mencapai angka 200 ppm. Menurut laporan GAO, karakteristik dermatitis akibat paparan formaldehyde antara lain bercak kemerahan, bengkak, lecet, dan kulit bersisik yang gatal atau panas.
Entah apakah produk garmen di Indonesia juga mengenakan bahan-bahan kimir seperti ini. Bagaimanapun, mencuci baju baru tetap penting dilakukan, untuk membersihkan keringat atau kotoran dari orang lain yang mencoba pakaian tersebut sebelum Anda. Atau, saat membeli, mintalah stok pakaian yang masih baru (terlipat dalam bungkus plastik).
Sumber: health, Editor: Dini, kompas.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar